Rabu, 03 Agustus 2011

Titip Rindu buat Palintan…

Titip Rindu buat Palintan…
2 Agustus 2011 19:27 Waktu Indonesia bagian Papela, Rote Ndao.

Pagi ini agak berbeda dari hari-hari kemarin. Sedih dan dan haru memenuhi rongga dadaku. Mataku sembab karena air mata yang tak dapat kutahan. Padahal saat itu masih sangat pagi untuk memulai hariku. Semuanya karena sebuah sms. Yah, pesan singkat yang kubaca tadi pagi membuat hatiku sedikit gundah. Hingga saat tulisan ini kubuat..
“Ass. Terasa sepi hidup ini, canda tawa seakan hambar, terasa ada hilang, jemari ini serasa teriris sembiluh. Pelupuk mata ibumu nanar dan kosong berhias air mata rindu. Santapan sahur dan buka tidak lagi sesedap santan, namun doa untukmu bertaut zikir tak berhenti. Anakku…kaupun rindu tentunya. Anakku…kami tetap disisimu walau dalam penantian”
Berdebar hatiku membaca kata demi kata pesan singkat diatas. Yah..sms itulah kawan yang menyesakkan dadaku..menerbangkan khayalku ke kampong halaman, dan memutar kembali semua video kenangan bersama orang tua ku terkasih-Barakallahu fii umurik ma’..pa’…Smsnya dikirimkan bapak ku…yang bagiku adalah Ayah hebat sedunia.
Sebegitu rindunya kah mereka kepadaku…?Hingga sms itupun terkirim. Ya Allah, ampunilah diriku ini telah membuat orang tua ku merasakan “kerinduan yang mendalam”.
R.I.N.D.U
Memang terkadang manusia tak bisa membendungnya..Maha suci Allah yang telah menganugerahkan “rasa” ini kepada kita semua. Tidak terkecuali kepada orang tua dan anaknya. Orang tua yang selama ini telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya. Orang tua yang rela membanting tulang tuk mencukupi semua kebutuhan anak-anaknya. Ya Rabb…tak kan dapat kusebutkan semua hal yang telah dilakukan orang tuaku. Cukuplah Engkau yang Maha Tahu, mengetahui bagaimana rindu yang kurasakan untukMu dan untuk orang tuaku..
Untuk mereka yang telah melahirkan dan membesarkanku,
Jagalah mereka Yaa Muhaimin..
Berkahi sisa umur mereka, karena aku tahu Engkau maha pemberi berkah…
Mudahkan segla urusannya, beri mereka kesehatan…cintai dan sayangi mereka..
Aku tak tahu kepada siapa lagi rinduku ini bisa kutumpahkan selain padaMu..
Maka, aku titipkan rinduku buat PALINTAN..
KepadaMu, Yang Maha Pengasih dan Penyayang…

Sebuah puisi arkostik kubuat untuk orang tua terkasih..
Semoga Allah senantiasa melimpahkan Rahmat dan HidayahNya kepada mereka:

P.A.L.I.N.T.A.N

Pahlawan bagi Tien, Aso, Icca, Fais, Sinta…
Allah..jaga dan sayangi orang tua kami yah..!
Lihatlah..mereka telah mengenalkan kami kepadaMu..
Indah nian ternyata ciptaanMu..
Nikmat yang tak terkira kau anugerahkan kepada keluarga kami..
Tak henti kami berucap syukur..
Allah…titip rindu ku kepada mama dan bapak..
Nanti atau esok atas izinMu, kan kukatakan kepada mereka bahwa “Betapa kumencintainya karena Allah…”

Na’..izinkan Ibu Titin tuk mendidikmu dengan cinta..!

Ada perasaan gundah yang menghinggapi diri ini. Saya tahu, gundah ini berasal dari kelasku di IV B. Entah mengapa, hari ini cara mengajarku sangat “berantakan”. Siswa-siswaku tidak mau diatur, mereka asyik berbicara. Padahal saya sedang menjelaskan di depan kelas. Baru kali ini saya merasakan “kekacauan” di dalam kelas. Lebih tepatnya, kekacauan pada diriku sendiri.
Emosi negative itu memuncak ketika saya mengajar bahasa Indonesia. Mata pelajaran terakhir di kelasku. Siswa-siswaku sudah tidak dapat kukendalikan. Kelas berubah menjadi pasar. Beberapa siswa saling berkejar-kejaran. Sebagian lagi masih asyik mencatat tentang pengertian dan cara menentukan ide pokok. Beberapa hari ini saya memang rajin meminta siswa tuk menyalin materi-materi pelajaran ke buku catatan mereka. Karena siswa tidak dibekali buku paket yang bisa mereka baca setiap saat di rumah. Kasihan sekali.
Karena sudah tidak sanggup me manage kelas di siang tadi, tanpa sengaja saya menumpahkan kekesalan kepada siswa-siswaku. Suara sudah jauh melompat beberapa anak tangga melebihi nada standar yang biasanya saya gunakan. Bahkan jika siswa-siswaku adalah seorang observer yang handal, maka mereka akan melihat ada air yang sudah akan mengalir dengan derasnya dari mataku. Kepalaku panas, semakin menjadi pula sakit kepalaku. Hanya tarikan nafas panjang dan dalam yang sedikit bisa melegakan perasaaanku saat itu.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, disekolahku siswa-siswa tidak dibekali dengan buku paket. Jangankan buat dibaca dirumah, untuk belajar bersama di sekolah pun tidak ada. Kecuali untuk pegangan guru. Sehingga siang itu, saya berinisiatif untuk membagikan mereka buku Bahasa Indonesia versi 2004 meski SK dan KD nya tidak sesuai dengan kurikulum sekarang. Rencana awal saya adalah, saya akan memberikan pemahaman kepada siswa tentang ide pokok pada sebuah bacaan. Sesuai dengan materi yang dijelaskan dalam kurikulum. Namun supaya bacaannya seragam, maka saya menggunakan bacaan yang ada di dalam buku lama.
Awalnya siswa-siswaku mulai membaca bacaan tersebut. Namun lama kelamaan, mereka bosan sendiri hingga akhirnya mereka sibuk dengan dunianya sendiri dan meledaklah “kekesalan” saya. Ceramah demi ceramah mengalir dari mulut saya. Bahkan tanpa saya sadari, saya seolah-olah memaksa siswa-siswaku tuk mengikuti cara berpikirku saat itu. Menjadi anak yang duduk diam dan memperhatikan perkataan guru.
Na’..maafkan ibu yah!
Ibu tahu… kalian bersifat kasar kepada temanmu, saling memaki, memukul dan menendang seenak hati. Sepenuhnya bukan karena keinginannmu sendiri. Lingkunganmu mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan karaktermu.
Maafkan Ibu..
Jikalau selama ini terlalu banyak ceramah yang harus kalian dengarkan dari Ibu. Semuanya Ibu lakukan supaya kelak kamu terbiasa mendengar hal-hal baik yang ada disekitarmu. Bukankah itu salah satu alas an mengapa Allah member kita dua buah telinga…?
Maafkan Ibu..
Jikalau teguran demi teguran engkau dapatkan. Harapannya, semakin hari engkau makin bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil. Insya Allah, dengan begitu..kalian akan menjadi pemimpin yang soleh dan solehah.
Anak-anakku yang terkasih,
Karena Ibu telah meminta maaf, maka izinkanlah Ibu Titin untuk mendidik kalian dengan cinta yang Ibu miliki. Meski Ibu tak bisa menjelaskan di depan kelas sebanyak apa cinta yang ibu maksud. Tapi yakinlah..cinta Ibu amat sangat mencukupi untuk kita nikmati bersama. Sampai kapanpun…

Semuanya berawal depan dan belakang rumah kami..

30 Juni 2011” Kamis”

Saya dan dua orang bibi pemilik rumah, bertetangga dengan Pak Oni dan Mama Nona. Pak Oni adalah seorang pengusaha yang juga mengurusi sawah dan tambak ikan bandeng. Sedangkan Mama Nona seorang guru penjas di sekolah yang sama tempatku mengabdikan diri menjadi seorang abdi Al Aliim.
Seperti biasanya, pada siang hari gabah milik Pak Oni akan dijemur di bawah teriknya matahari. Sedangkan saya, pada siang hari akan bercengkrama dengan piring, gelas, dan beberapa baskom hitam yang berisi air dan gelembung sabun. Di belakang rumah, seperti rumah lainnya. Satu dari rutinitas yang selalu saya lakukan selama berada dalam perantauan di Bumi CintaNya, Pulau Rote Ndao, NTT.
Salah satu pemandangan yang selalu saya saksikan sambil menikmati cuci piring saya adalah para “tokoh” dibalik para penjemur gabah milik Pak Oni. Sepanjang pengamatan saya, ternyata yang menjemur gabah tersebut adalah anak kecil. Perhatianku semakin terfokus pada wajah mereka. Wajah yang baru kukenali belum sampai satu bulan. Mereka adalah siswa-siswaku di sekolah. Sebagian besar laki-laki.
Pagi hari mereka belajar dan bermain bersamaku di sekolah. Siangnya, mereka bermain bersama tumpukan gabah bermandikan panasnya matahari. Hatiku terenyuh. Hanya bisa menghela nafas panjang. Mengamati aktivitas mereka dari belakang rumahku. Dan membatin “benar ini siswa yang saya ajar di sekolah?”. Sesekali, disela-sela aktivitasnya, mereka masih menyempatkan diri tuk menyapa dan melemparkan senyum kepada guru barunya. Bisajadi, kami sebenarnya saling mengamati. Mereka dengan padi yang akan dijemur, dan saya dengan tumpukan piringku. Yah..seperti itulah pemandangan dari belakang rumahku.
Tunggu..masih ada lagi! Nah..sekarang kita melangkah ke pemandangan dengan angel depan rumahku.
Siang hari di Papela, suhunya seperti cerita di novel yang menggambarkan suasana padang pasir di mesir. Panas dan kering. Sepulang dari tempat ini, saya yakin kulit anda akan semakin ecsotic. Kebiasaan saya kalau pulang sekolah-memberi salam, buka pintu, dan duduk menyandarkan kepala di kursi sambil memejamkan mata. Biasanya saya akan memutar kembali video kejadian di sekolah tadi. Saya tidak tahu, bagaimana ekspresi wajahku saat itu.
Tapi kemudian, aktivitas tersebut kadang “sedikit” terusik dengan teriakan “Ikaaaaan…Ikaaaan…”. Kedua mata ini membelalak, diri ini berusaha mengumpulkan semua kesadaran. Telinga berusaha mengenali sumber teriakan ikan tadi. Yang kemudian saya ketahui berasal dari teras depan rumah. Yah benar, suara itu milik seorang anak kecil yang sedang menjual ikannya kepada warga Dusun Papela.
Dan dada ini kembali menghembuskan nafas berat, begitu dalam. Hati kembali terenyuh. Belum selesai rasanya saya mengambil hikmah dari kejadian di “belakang rumah”. Sekarang Allah kembali mendidikku dengan pelajaran berharga dari “depan rumah”. Saya juga harus menyaksikan siswaku menjual ikan di saat matahari tepat berada di atas kepala. Speechless.
Rasa syukur tak terbendung lagi. Semuanya bercampur dengan haru. Rasa Malu dengan “malu-malunya” berusaha bersembunyi dibalik hati yang tak bisa menyembunyikannya. Malu pada diri sendiri melihat kegigihan siswa-siswaku dalam bekerja. Saya pun bercermin pada mereka. Ketika saya berada pada usia mereka, saya masih asyik menikmati asyiknya bermain. Saya dan saudaraku tidak perlu “repot” mengeringkan gabah dan menjual ikan, menjemur kulit di tengah panas Papela. Cukup dengan tidur siang saja, kami sudah bisa mendapatkan uang jajan sore.
Yah, semakin malu. Jika mengingat keluhan yang masih sering menghiasi mulut ini. Bahkan panas yang Allah anugrahkan pun, masih biasa saya keluhkan. Padahal dengan panas tadi, siswa-siswaku bisa dengan mudah menyelesaikan “pekerjaannya”. Astagfirullah al’adzim. Bayangkan jika matahari tak memancarkan cahaya seterik itu! Gabah-gabah di belakang rumah tak bisa kering dengan baik. Sementara ikan-ikan di depan rumah tak dapat dijajakan dengan cepat oleh penjualnya. Semuanya tidak lain dikerjakan oleh siswaku.
Begitulah hidup kawan! Allah selalu punya banyak cara untuk mendidikmu menjadi jundi yang banyak bersyukur. Entah itu di depan ataupun belakang rumahmu.

Nah..siang ini, apa saja yang telah terjadi di sekitar rumah anda..?

My first time go to Baa..!

Hore..horeee….saya bersorak seperti anak kecil, meski hanya di dalam hati. Bagaimana tidak, akhirnya setelah hamper satu bulan lamanya saya akan ke kota juga. Melihat peradaban lain di Pulau Rote. Tempat yang akan saya kunjungi adalah Kecamatan Baa (baca Ba’a). Merupakan pusat Kabupatan Rote Ndao. Semua kantor urusan pemerintahan di Rote Ndao berpusat di Baa ini.
Bu Is, kepala sekolah saya di SDN 01 Papela mengatakan bahwa kami akan berangkat jam 9 pagi. Saking semangatnya, saya sudah siap berangkat pukul 08.00 pagi. Sedangkan Bang Wisyal, masih asyik santai di depan tv hingga pukul 08.45. Akhirnya kami pun berangkat pukul 09.30.
Perjalanan ke Baa harus kami tempuh dengan menggunakan ojek. Alhamdulillah, di Papela ada seorang tukang ojek perempuan yang bernama Mba Aci. Alhasil, Mba Aci lah yang mengantar saya untuk pertama kalinya ke Baa yang berjarak 50 km lebih dari Papela. Masya Allah..bayangkan,perjalanan sejauh itu harus kami tempuh demi bertemu dengan Bapak Kadis. Tapi saya senang..!! Sedangkan Bang Wisyal bersama dengan ojek bernama Ka’ Iswa, dan Bu Is bersama dengan suaminya, Pak Adi. Dan berangkatlah kami….!
Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya mulut ini berucap syukur pada-Nya. Pemandangan yang begitu indah terhampar di depan mataku. Pantai dengan warna gradasi biru,hamparan pasir putih, bebatuan besar di pinggir pantai. Selain itu, saya juga melewari hamparan pohon berduri (kira-kira manfaatnya apa yah..?), jejeran pohon lontar (mengingatkanku dengan Jeneponto-tempatku KKN). Rasa pegal karena kelamaan duduk menjadi hilang karena lukisan Al Musshawwir ini. Semuanya indah..
Rombongan kami tiba di Baa sekitar pukul 11.00 siang. Tempat yang kami tuju adalah kantor Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga. Tentu saja untuk bertemu dengan Bapak Kepala Dinas. Alhamdulillah, satu amanah telah terselesaikan. Yaitu memperkenalkan diri sebagai Guru Bantu dari SGEI-LPI Dompet Dhuafa. Meskipun saat itu Bapak Kadis tidak berada di tempat, dan kami disambut oleh Bapak Kepala Bidang Pengajaran.
Beliau sempat memberikan sedikit pengarahan pada saya tentang Rote Ndao. Saya Cuma bisa membalasanya dengan anggukan dan senyum manis. “Tenang saja Pak, insya Allah saya akan memberi banyak manfaat di Rote anda” kataku dalam hati.
Yaa Rabb..mudahkan hamba Mu ini dalam melaksanakan tugas di Rote Ndao..
Kuatkan diriku Yaa Qowwiy..dan semoga diriku pun bisa menjadi inspirasi bwt orang2 disekitar…
Amin Yaa Rabbal Alamin..

Pengantin Rote ala Barat…

Malam ini saya mendapatkan undangan ke acara pernikahan salah seorang warga Papela. Rumahnya tidak jauh dari tempat tinggalku selama mengabdikan diri di Pulau Rote Ndao. Setelah sholat isya, saya dan Bi Mu’ bersiap-siap ke acara tersebut. Pernikahan disini berbeda dengan pernikahan di kampungku. Disini, akad nikah dimulai setelah sholat magrib. Kalau di kampong saya, akad nikah selalu dilaksanakan pada pagi hari.
Seperti umumnya pesta pernikahan, undangan datang dan langsung duduk ke kursi tamu. Aneh lagi menurutku, kami tidak langsung bersalaman dengan pengantinnya.Tapi amplop yang kami bawa telah diserahkan sebelumnya ketika masuk pertama tadi. Hehe…curang..!
Setelah duduk beberapa lama-ditemani alunan lagu dari album Cinta Rasul yang pernah booming ketika saya masih kecil- akhirnya sayapun menyadari bahwa lambungku ini sudah menuntut haknya malam ini. Iya yah..saya pun tersadar. Kenapa dari tadi saya, Bi Mu’, Bu Is-kepala sekolahku di Papela-, belum pergi ke meja makan..? Padahal saya telah menyengajakan diri untuk tidak makan dirumah karena sudah terbayang makanan di pesta. Haha..maklum, perut ini sudah lama tak bersua dengan mamalia penghasil susu segar. Goreng-goreng daging sapi sudah menari-nari dikepalaku sejak saya mendengar cerita abang. Katanya, pesta ini mengorbankan dua ekor sapi besar. “Waaaooww…subhanallah..!” celetukku saat itu. “Hebat sekali mereka Bi Mu..pasti mereka kaya sekali yah sampai memotong dua sapi”. Kemudian Bi Mu menjawabnya “Disini memang begitu, dua sapi sudah biasa”. Kataku lagi “Haaa..?Biasa…?Tapi kan mahal..?Sapi satu ekor saja 5 jutaan yang paling murah. Dikali dua jadi 10 jutaan kan?”. Bi Mu kembali membalas ” Ohh..harga sapi disini hanya satu sampai dua juta per ekor yang besar”. “Wuiiihhh…enak dong yah! Pantas mereka bisa memotong sapi berapapun sesuka mereka” kataku dengan kepala menggeleng-geleng-menandakan saya nyaris tak percaya harga sapinya-. Hmmm…saya bisa jadi pengusaha sapi neh ke Makassar-gumamku dalam hati-.
Nah..ternyata kebiasaan pada acara pernikahan di Rote, tamu-tamu akan diundang sedikit demi sedikit untuk maju ke meja makan. Berbeda dengan kondangan di kampungku. Tamu-tamu biasanya langsung antri di meja makan. Dengan setengah berharap, mataku sesekali melirik kea rah bapak yang diberi amanah untuk mempersilahkan tamu menuju meja makan. Serangan “Naga” di dalam perutku tak bisa diajak kompromi lagi. Beberapa menit setelah, barulah kami mendapat giliran untuk maju mengambil makanan. Sebenarnya, itupun karena inisiatif Bu Is yang mungkin juga merasakan apa yang kurasakan. Sama-sama lapar, maksudnya!
Bayangan oseng-oseng sapi kini menjadi nyata. Saya mengambil nasi dan lauk secukupnya. Dan selanjutnya, bismillah..saya larut dalam suasana pesta bersama empuknya daging sapi.
Rrrggghh…Alhamdulillah!
*to be continue....*

Minggu Ceria di Papela..

Ahad, 12 Juni 2011
Saya masih ingat ketika mengumandangkan kalimat “Hari mencuci nasional”. Hari dimana saya akan mengosongkan agenda kampus, sekolah, dan lainnya. Hari berdamai dengan cucian yang menanti untuk dieksekusi pemiliknya. Semuanya kulalui meski terkadang diselipi dengan sedikit keluhan. Tapi hari ini, entah mengapa “ruh” hari mencuci nasional ini begitu kuat kurasakan kehadirannya..
Fiuuh…hmmfhh-duduk melepas lelah setelah berjalan hamper 1 km-. Inilah rutinitas baruku sekarang, mencuci di kali. Izinkan saya menyebutnya “Minggu Ceria”.
Matahari mulai menampakkan dirinya dari balik awan putih. Rombongan Ibu-ibu sudah sibuk berlalu lalang di depan rumahku. Di atas kepalanya terlihat kain sarung yang didalamnya diisi barang. Mm, cucian pikirku.Tangan kanannya memegang anaknya yang masih kecil, sedangkan dikirinya menenteng ember berisi sabun dan sikat cuci. Pemandangan yang menarik.
Tidak beberapa lama setelah ibu-ibu itu lewat, saya, Bi Mu’ dan Abang turut bergabung dalam deretan para pejuang kebersihan pakaian. Di kali, anak-anak tadi berlompatan dari atas pohon. Cipratan airnya mengenai ibu mereka yang mencuci tidak jauh dari tempat anak itu beratraksi.
Sedang diriku..?Diam..dan menebar senyum..!Tak henti-hentinya mengucap syukur telah diberikan kesempatan untuk menikmati semua kondisi ini.

Berwajah dhuafa..., ga’ masalah..!

Selasa,31Mei 2011
Berwajah dhuafa, ga’ masalah..!
Pukul 04.00 WIB dini hari, saya dan beberapa teman SGEI lainnya meninggalkan asrama LPI-Dompet Dhuafa untuk melaksanakan tugas pengabdian mengajar di beberapa daerah di Indonesia. Beberapa tempat yang akan didatangi oleh peserta SGEI saat itu antara lain: Saya sendiri ke Pulau Rote, Kartini di Kupang, Malsa di Balikpapan, Syamsi di Banjarmasin, Anci di Natuna, Itan di Batam, Oppah di Palembang, Afah di Pekanbaru, Darma di Jambi, dan Dencik di Bengkulu.
Perasaan haru dan senang bercampur menjadi satu. Kenangan selama kurang lebih lima bulan terputar kembali mengiringi langkah-langkah kami menuju tempat tugas. Indonesia..kami datang..!!
Saya dan Tini bersiap untuk check-in di loket maskapai yang akan menerbangkan kami ke bumi Nusa Tenggara Timur. Setelah melalui beberapa prosedur awal sebagai penumpang, tibalah saat dimana saya harus menimbang barang untuk dibagasikan. Kami berdua sudah memperhitungkan, bahwa kami akan over bagasi. Dan benar, kuota bagasi kami melebih 17 kg. Padahal uang di dompet kami amat sangat terbatas sekali…Setelah menimbang travel bag dan kardus saya, serta tas kecil milik Tini, tiba-tiba petugas maskapai menghentikan aktivitas men-check nya dan melihat ke arah kami. Apa gerangan yang terjadi..?Nafas saya seolah-olah terhenti..kedua mataku beradu dengan mata Tini, kecemasan sudah mulai menghiasi wajah kami berdua..
Tidak lama kemudian, petugas maskapai tadi berkata “Mba’..bagasi anda over, seharusnya anda membayar Rp.350.000. Saya bisa membantu anda, tapi saya akan melayani penumpang yang lain dulu”. Entahlah..saya juga tidak mengerti. Yang jelas saat itu saya dan Tini hanya membayar masing-masing 100 ribu.
Saya tidak tahu apakah retribusi petugas maskapai itu melakukan ini kepada kami. Sempat terlintas di pikiran kami, mungkin wajah kami tampak “dhuafa” sehingga hatinya tergerak untuk menolong kami. Hehehe..padahal memang kami dari Dompet Dhuafa. Yeaah…whatever lah. Satu hal yang pasti dan saya yakini, ini adalah pertolongan Allah..Insya Allah, niat kami baik. Maka dengan cara apapun, Dia kan mudahkan. Thanks to Allah…

Fabiayyi'ala irabbikuma tukazziban...

Fabiayyi'ala irabbikuma tukazziban...