Rabu, 03 Agustus 2011

Na’..izinkan Ibu Titin tuk mendidikmu dengan cinta..!

Ada perasaan gundah yang menghinggapi diri ini. Saya tahu, gundah ini berasal dari kelasku di IV B. Entah mengapa, hari ini cara mengajarku sangat “berantakan”. Siswa-siswaku tidak mau diatur, mereka asyik berbicara. Padahal saya sedang menjelaskan di depan kelas. Baru kali ini saya merasakan “kekacauan” di dalam kelas. Lebih tepatnya, kekacauan pada diriku sendiri.
Emosi negative itu memuncak ketika saya mengajar bahasa Indonesia. Mata pelajaran terakhir di kelasku. Siswa-siswaku sudah tidak dapat kukendalikan. Kelas berubah menjadi pasar. Beberapa siswa saling berkejar-kejaran. Sebagian lagi masih asyik mencatat tentang pengertian dan cara menentukan ide pokok. Beberapa hari ini saya memang rajin meminta siswa tuk menyalin materi-materi pelajaran ke buku catatan mereka. Karena siswa tidak dibekali buku paket yang bisa mereka baca setiap saat di rumah. Kasihan sekali.
Karena sudah tidak sanggup me manage kelas di siang tadi, tanpa sengaja saya menumpahkan kekesalan kepada siswa-siswaku. Suara sudah jauh melompat beberapa anak tangga melebihi nada standar yang biasanya saya gunakan. Bahkan jika siswa-siswaku adalah seorang observer yang handal, maka mereka akan melihat ada air yang sudah akan mengalir dengan derasnya dari mataku. Kepalaku panas, semakin menjadi pula sakit kepalaku. Hanya tarikan nafas panjang dan dalam yang sedikit bisa melegakan perasaaanku saat itu.
Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, disekolahku siswa-siswa tidak dibekali dengan buku paket. Jangankan buat dibaca dirumah, untuk belajar bersama di sekolah pun tidak ada. Kecuali untuk pegangan guru. Sehingga siang itu, saya berinisiatif untuk membagikan mereka buku Bahasa Indonesia versi 2004 meski SK dan KD nya tidak sesuai dengan kurikulum sekarang. Rencana awal saya adalah, saya akan memberikan pemahaman kepada siswa tentang ide pokok pada sebuah bacaan. Sesuai dengan materi yang dijelaskan dalam kurikulum. Namun supaya bacaannya seragam, maka saya menggunakan bacaan yang ada di dalam buku lama.
Awalnya siswa-siswaku mulai membaca bacaan tersebut. Namun lama kelamaan, mereka bosan sendiri hingga akhirnya mereka sibuk dengan dunianya sendiri dan meledaklah “kekesalan” saya. Ceramah demi ceramah mengalir dari mulut saya. Bahkan tanpa saya sadari, saya seolah-olah memaksa siswa-siswaku tuk mengikuti cara berpikirku saat itu. Menjadi anak yang duduk diam dan memperhatikan perkataan guru.
Na’..maafkan ibu yah!
Ibu tahu… kalian bersifat kasar kepada temanmu, saling memaki, memukul dan menendang seenak hati. Sepenuhnya bukan karena keinginannmu sendiri. Lingkunganmu mempunyai andil yang cukup besar terhadap pembentukan karaktermu.
Maafkan Ibu..
Jikalau selama ini terlalu banyak ceramah yang harus kalian dengarkan dari Ibu. Semuanya Ibu lakukan supaya kelak kamu terbiasa mendengar hal-hal baik yang ada disekitarmu. Bukankah itu salah satu alas an mengapa Allah member kita dua buah telinga…?
Maafkan Ibu..
Jikalau teguran demi teguran engkau dapatkan. Harapannya, semakin hari engkau makin bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil. Insya Allah, dengan begitu..kalian akan menjadi pemimpin yang soleh dan solehah.
Anak-anakku yang terkasih,
Karena Ibu telah meminta maaf, maka izinkanlah Ibu Titin untuk mendidik kalian dengan cinta yang Ibu miliki. Meski Ibu tak bisa menjelaskan di depan kelas sebanyak apa cinta yang ibu maksud. Tapi yakinlah..cinta Ibu amat sangat mencukupi untuk kita nikmati bersama. Sampai kapanpun…

1 komentar:

Vera Damiri mengatakan...

subhanallah... semangat ya, mbak tien...!

Fabiayyi'ala irabbikuma tukazziban...

Fabiayyi'ala irabbikuma tukazziban...